Makalah Politik Agraria
Politik agraria merupakan arah dan kebijakan pemerintah untuk mengubah dan memperbaiki struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam untuk kepentingan pemerataan pembangunan.
Lima belas tahun setelah kemerdekaan barulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 sebagai dasar politik hukum agraria baru menggantikan hukum agraria Belanda. Namun, jalan politik agraria nasional yang baru ini pun tidak berlangsung lama. Lima tahun kemudian (1965) setelah UUPA 1960 disahkan, ketika haluan politik-ideologi negara berubah di bawah Orde Baru, nasib UUPA 1960 semakin tidak pasti dan tidak lagi dijadikan sumber kebijakan negara dalam mengelola dan menata sumber daya agraria nasional.
Itulah sebabnya selama 54 tahun sejak kemerdekaan sampai reformasi wacana dan agenda 'reforma agraria' tidak muncul dalam politik pembangunan nasional. Meskipun MPR-RI setelah reformasi mengeluarkan Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam, produk politik hukum tersebut hanya berjalan di tempat dan tidak tersambung dengan praktik kebijakan pemerintah baik pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati, maupun SBY. Bahkan setelah reformasi terjadi kemunduran dari sisi kelembagaan yang kementerian untuk urusan agraria dihapus dan sepenuhnya diserahkan ke BPN yang sebenarnya lebih banyak mengurus administrasi pertanahan. Dapat dikatakan dalam Orde Reformasi pun agenda reforma agraria belum ditempatkan sebagai bagian dari program strategis pembangunan nasional.
Pada kesempatan kali ini, disuguhkan contoh makalah politik agraria bagi kalangan mahasiswa untuk dianalisis bersama-sama.
TUGAS MATA KULIAH POLITIK AGRARIA
PENGERTIAN JUAL BELI, WARIS DAN HIBAH
DALAM SISTEM PERTANAHAN INDONESIA
OLEH:
...........
NPM : ...........
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
=====================================================================
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Syukur
Alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada
Allah SWT, yang karena bimbinganNyalah maka penulis bisa menyelesaikan tulisan
tentang jual beli, waris dan hibah dalam Sistem Pertanahan Indonesia.
Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada ........... selaku Dosen Mata Kuliah Politik Agraria karena telah
memberikan bimbingan dan arahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan
ini. Meskipun penulis berharap isi dari tulisan ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar kedepannya penulis dapat membuat tulisan
yang lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar tulisan ini bermanfaat bagi
semua pembaca. Terima kasih.
..........., ...........
Penulis,
...........
====================================================================
JUAL BELI
I. Pengertian
Dalam pengertian Hukum Adat jual beli tanah adalah
merupakan suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang
dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar
harga (walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual sejak itu Hak Atas
Tanah telah beralih dari penjual kepada pembeli. Dengan kata lain bahwa sejak
saat itu pembeli telah mendapat Hak Milik atas tanah tersebut. Jadi jual beli
menurut Hukum Adat tidak lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara
penjual kepada pembeli. Maka biasa dikatakan bahwa jual beli menurut Hukum Adat
itu bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata”(kongkrit).
Sedangakan pengertian jual beli tanah menurut Hukum
Barat sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1457
yang berbunyi “jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan”, pasal 1458 yang berbunyi “Jual
beli itu di anggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah
orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya,
meskipun kebendaan itu belum di serahkan, maupun harganya belum dibayar”,
pasal 1459 yang berbunyi “ Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah
kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612, 613
dan 616 tentang kebendaan”. Berdasarkan pada bunyi pasal 1457, 1458, dan 1459,
penulis kemudian menyimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian, yang
dimana salah satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak
lainnya untuk membayar harga-harga yang telah ditentukan. Pada saat kedua pihak
itu telah mencapai kata sepakat, maka jual beli telah dianggap terjadi,
walaupun tanah belum diserahkan atau harganya belum dibayar. Akan tetapi
sekalipun jual beli itu telah dianggap terjadi, namun Hak Atas Tanah itu belum
berpindah kepada pembeli. Untuk pemindahan hak itu, masih diperlukan suatu
perbuatan hukum yang berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu
peraturan lain lagi.
II. Subjek dan Objek Jual Beli
Ada dua hal penting yang perlu
diperhatikan dalam jual beli tanah, yaitu mengenai subjek dan objek jual beli
tanah. Mengenai subjek jual beli tanah adalah para pihak yang bertindak sebagai
penjual dan pembeli. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah calon penjual
harus berhak menjual yaitu pemegang sah dari hak atas tanah tersebut, baik itu
milik perorangan atau keluarga. Sedangkan mengenai objek jual beli tanah adalah
hak atas tanah yang akan dijual. Didalam jual beli tanah, tujuan membeli hak atas
tanah adalah supaya dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah, tetapi
secara hukum yang dibeli atau dijual bukan tanahnya tetapi hak atas tanahnya.
WARIS
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah
aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan
peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke
generasi. Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele
goederen), dari suatu angkatan generasi manusia kepada keturunnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan,
bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan
atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Waris berarti ‘orang yang
berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal’. Warisan
berarti ‘harta pusaka peninggalan’.Mewarisi berarti (1) ‘mendapat pusaka dari
...‘, misalnya tidak ada yang berhak mewarisi harta benda orang itu selain anak
cucunya atau karib baidnya; (2). ‘menerima sesuatu yang ditinggalkan’,
misalnya bangsa Indonesia mewarisi nilai budaya luhur peningga!an nenek moyang
yang hidup pada zaman dahulu.Mewariskan berarti (1) ‘memberi pusaka
(peninggalan) kepada ...‘, misalnya saya akan mewariskan tiga perempat dari
harta kekayaan kepada anak-anak saya, sedangkan yang seperempat lagi akan saya
serahkan kepada panti asuhan; (2) ‘menjadikan waris’, misalnya meskipun bukan
waris jika diwariskan oleh orang yang meninggal itu menjadi waris juga.Pewaris
berarti ‘yang memberi pusaka’, misalnya Panglima Besar Sudirman adalah pewaris
perjuangan, melawan penjajahan Belanda, bagi bangsa Indonesia.
HIBAH
Hibah adalah pemberian oleh
seseorang kepada orang lainnya, secara Cuma-Cuma dan tidak dapat ditarik
kembali, atas barang bergerak maupun barang tidak bergerak pada saat pemberi hibah
tersebut masih hidup.
Syarat Hibah :
- Dilakukan dengan akta notaries untuk barang
bergerak, dan dengan akta PPAT untuk tanah dan bangunan.
- Merupakan pemberian secara Cuma-Cuma
(gratis/tanpa bayaran).
- Diberikan pada saat pemberi hibah masih hidup.
- Pemberi hibah adalah orang cakap bertindak
menurut hukum (artinya pemberi hibah bukan seorang yang masih dibawah umur
atau tidak sedang dalam pengampuan).
- Yang dapat dihibahkan adalah barang bergerak
dan barang tidak bergerak.
- Pemberian hibah hanyalah untuk barang-barang
yang sudah ada.
- Penerima hibah sudah ada pada saat pemberian
hibah tersebut dilakukan.
- Pemberian hibah bersifat final dan tidak dapat
ditarik kembali.
PENUTUP
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai jual beli, waris
dan hibah dalam Sistem Pertanahan Indonesia ini, tentunya masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan. Penulis banyak
berharap para pembaca yang budiman untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya tulisan di kesempatan-kesempatan
berikutnya.
Semoga tulisan ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca yang budiman pada umumnya.
0 Response to "Makalah Politik Agraria"
Post a Comment