='#efefef' name='theme-color'/> SISTEM ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH (MODUL KEUANGAN) - BERITA DESA -->

SISTEM ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH (MODUL KEUANGAN)



SISTEM ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH


Bahan ajar ”Perencanaan dan Penyusunan Anggaran” merupakan modul pertama dari Penatausahaan Keuangan Daerah pemerintah kabupaten/kota yang difokuskan untuk bidang Keuangan. Sebelum diberikan uraian tentang penyusunan dan penetapan APBD, terlebih dahulu akan disampaikan mengenai karakteristik dan siklus anggaran pemerintah daerah yang merupakan dasar dari proses pengelolaan keuangan daerah.

A. Karakteristik, Siklus Anggaran Pemerintah Daerah dan Penjadwalan

1. Karakteristik Sistem Anggaran Pemerintah Daerah

Berdasarkan buku Panduan Analisis dan Advokasi Anggaran Pemerintah Daerah di Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Asia (the Asia Foundation) dari Asian Development Bank (ADB) pada awal tahun 2006, dalam merencanakan dan mengelola keuangan daerah diperlukan pemahaman awal tentang ”Karakteristik Anggaran” pemerintah daerah yang mencakup antara lain: siapa-siapa saja  pelaku kunci (key person) yang terlibat; siklus dan kalender anggaran; dan rincian proses anggaran yang merupakan siklus selama 30 (tigapuluh) bulan atau dua setengah tahun.

Pelaku-pelaku kunci (key person) yang terlibat dalam penyusunan anggaran pemerintahan kabupaten/kota adalah:

a. Pihak Eksekutif (Bupati/Walikota, Sekretaris Daerah, Tim Anggaran, SKPD, Bappeda dan BPKD)

Bupati/Walikota
Bupati/Walikota adalah pengambil keputusan utama dalam menentukan kegiatan dan pelayanan publik yang akan disediakan oleh pemerintah daerah untuk suatu periode waktu tertentu. Dalam hal ini bupati/walikota  harus segera menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) paling lambat 3 (tiga) bulan setelah terpilih. Dokumen ini nantinya akan menjadi rujukan dalam penyusunan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD). Setelah selesai penyusunan APBD untuk suatu tahun anggaran tertentu, bupati/walikota segera mengajukan Rancangan Perda tentang APBD disertai dokumen pendukungnya kepada DPRD.

Sekretaris Daerah (Sekda)
Dalam kaitannya dengan penyusunan anggaran daerah, Sekretaris daerah dalam suatu pemerintahan kabupaten/kota merupakan koordinator Tim Anggaran Eksekutif yang mempunyai tugas antara lain menyampaikan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) kepada DPRD. Kebijakan umum anggaran adalah dokumen yang akan dijadikan landasan utama dalam penyusunan RAPBD.

Tim Anggaran Eksekutif
Tim Anggaran Eksekutif yang diketuai oleh Sekretaris Daerah yang bertugas untuk menyusun Kebijakan Umum Anggaran dan mengkompilasikan Rencana Kerja Anggaran setiap Satuan Kerja (RKA-SKPD) menjadi RAPBD.

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) adalah unit kerja pemerintahan kabupaten/kota yang merupakan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dan mempunyai tugas untuk menyusun dan melaksanakan anggaran pada unit kerja yang bersangkutan. Jumlah SKPD untuk suatu pemerintahan kabupaten/kota dapat berbeda-beda antara satu dengan lainnya tergantung pada struktur organisasi kepemerintahan di daerah masing-masing.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
BAPPEDA dari suatu pemerintahan kabupaten/kota merupakan unit perencanaan daerah yang mempunyai tugas antara lain untuk menyiapkan berbagai dokumen perencanaan yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan musyawarah perencanaan dan pembangunan di daerah, menyelenggarakan prioritas Musrenbang, dan mengkoordinasikan antara hasil Musrenbang dan usulan dari setiap satuan kerja sehingga tersusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD)
BPKD adalah unit kerja pada suatu pemerintahan kabupaten/kota yang bertugas antara lain menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah  (APBD) dan berfungsi sebagai bendahara umum daerah. BPKD bettanggung jawab untuk menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Istilah yang dipakai di suatu pemerintah kabupaten/kota tidak sama antara satu dengan lainnya. Ada unit organisasi dari suatu pemerintah kota yang menyebutnya dengan istilah Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), ada juga yang memberi nama Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD).

b. Pihak Legislatif
Pihak Legislatif yang terlibat dalam penyusunan anggaran pemerintah daerah antara lain adalah:

Panitia Anggaran Legislatif
Panitia Anggaran Legislatif adalah suatu Tim Khusus yang bertugas untuk memberikan saran dan masukan kepada kepala daerah (bupati/walikota) tentang penetapan, perubahan, dan perhitungan APBD yang diajukan oleh pemerintah daerah sebelum ditetapkan dalam Rapat Paripurna.

Komisi-Komisi DPRD
Komisi-komisi di lingkungan DPRD adalah alat kelengkapan DPRD yang dibentuk untuk memperlancar tugas-tugas DPRD dalam bidang pemerintahan, perekonomian dan pembangunan, keuangan, investasi daerah, serta kesejahteraan rakyat. Dalam proses penetapan anggaran komisi-komisi merupakan kelompok kerja yang bersama-sama dengan semua SKPD terkait membahas RKA-SKPD.

c. Pihak Pengawas (Auditor)
Yang bertindak sebagai pihak pengawas dalam perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah adalah:

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,  BPK adalah satu-satunya pengawas keuangan eksternal yang melakukan audit terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan pemerintah daerah. Pemeriksaan yang dimaksud meliputi pemeriksaan atas laporan keuangan, pemeriksaan kinerja, serta pemeriksaan atas tujuan tertentu yang tidak termasuk dalam kedua pemeriksaan tersebut di atas.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
BPKP adalah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BPKP merupakan auditor internal yang mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan internal terhadap pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah yang mengunakan dana APBN.

Inspektorat Daerah
Inspektorat Daerah adalah pengawas internal suatu pemerintah kabupaten/kota yang bertugas meng-audit dan melaporkan kondisi keuangan dari setiap institusi/lembaga yang dibiayai oleh APBD. Inspektorat Daerah mempunyai tugas pokok membantu bupati/walikota untuk melaksanakan kegiatan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah terkait.

Bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, karakteristik anggaran masih mengalami perubahan-perubahan sehingga diperlukan pula informasi terkini tentang perubahan yang telah dan sedang berlangsung mengenai proses penganggaran beserta ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya.

2. Siklus Anggaran Pemerintah Daerah

Walaupun siklus dan proses penganggaran di setiap negara berbeda satu dengan yang lainnya, namun pada dasarnya mempunyai urut-urutan yang sama makna dan tujuannya.

Menurut buku panduan tentang Analisis dan Advokasi Anggaran Pemerintah Daerah di Indonesia, yang diterbitkan oleh Yayasan Asia (the Asia Foundation) dari Bank Pembangunan Asia (ADB) proses/siklus anggaran pemerintah daerah berlangsung selama 2½ (dua setengah) tahun dengan urutan sebagai berikut:

a. Penyusunan dan Penetapan Anggaran (1 tahun sebelum tahun anggaran berkenaan)

Tahapan penyusunan anggaran terdiri dari pengumpulan aspirasi masyarakat melalui forum pertemuan komunitas (Musrenbang), proses penyusunan kegiatan oleh satuan kerja perangkat daerah (dinas, instansi) sampai dengan penyiapan draft usulan APBD diserahkan oleh kepala daerah (pihak eksekutif) kepada DPRD (pihak legislatif) untuk dibahas dan disetujui bersama.

Dalam proses penyusunan anggaran yang memerlukan waktu beberapa bulan, Tim Anggaran Eksekutif yang beranggotakan unsur-unsur dari Sekretariat Daerah, BAPPEDA dan Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting. Walaupun masyarakat dimintai pendapatnya dalam proses penentuan prioritas program namun pada akhirnya proses penyusunan program dilakukan secara tertutup di masing-masing satuan kerja (SKPD).

Penetapan anggaran merupakan tahapan yang dimulai ketika pihak eksekutif menyerahkan usulan anggaran kepada pihak legislatif. Pada umumnya proses ini ditandai dengan pidato dari kepala daerah (Bupati/Walikota) di hadapan anggota DPRD. Selanjutnya DPRD akan melakukan pembahasan untuk beberapa waktu. Selama masa pembahasan akan terjadi diskusi antara pihak Panitia Anggaran Legislatif dengan Tim Anggaran Eksekutif dimana pada kesempatan ini pihak legislatif berkesempatan untuk menanyakan dasar-dasar kebijakan eksekutif dalam membahas usulan anggaran tersebut.

b. Pelaksanaan Anggaran (1 tahun saat tahun anggaran berjalan)

Pelaksanaan Anggaran adalah tahapan yang dimulai sejak APBD disahkan melalui peraturan daerah pada setiap akhir tahun sebelum tahun anggaran baru dimulai. Tahapan pelaksanaan berlangsung selama 1 (satu) tahun terhitung mulai awal tahun anggaran baru pada bulan Januari setiap tahunnya. Tahapan Pelaksanaan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak eksekutif melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah.

c. Laporan Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD (setengah tahun)

Tahapan ini mencakup antara  penyiapan Laporan Semester pertama dan Laporan tahunan termasuk penelaahan atas pelaksanaan anggaran untuk waktu satu tahun anggaran yang bersangkutan. Tahapan pemeriksaan terdiri dari pemeriksaan internal yang dilakukan oleh Inspektorat Daerah dan BPKP (untuk pembelanjaan yang mengunakan APBN), serta pemeriksaan eksternal oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dalam bentuk diagram siklus anggaran pemerintah daerah adalah sebagai berikut:

siklus anggaran pemerintah daerah

3. Penjadwalan Penyusunan dan Penetapan Anggaran

Meskipun pada kenyataannya penjadwalan penyusunan dan penetapan anggaran tidaklah sama antara satu pemerintah kabupaten/kota dengan lainnya, akan tetapi pada umumnya penjadwalan dapat disusun sebagai berikut:

*   Jadwal Penyusunan dan Penetapan Anggaran

Waktu

K e g i a t a n

 

Januari

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  • Tahun Anggaran dimulai
  • BAPPEDA merumuskan dokumen yang disebut Kerangka Ekonomi Daerah, yaitu proyeksi dari penerimaan dan pengeluaran yang didasarkan pada anggaran tahun sebelumnya.

Kerangka ini memuat daftar aktivitas daerah yang mengacu pada RPJMD dan Renstra SKPD. Semua kegiatan yang terkait dengan pelayanan publik akan didiskusikan dalam suatu pertemuan yang disebut Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang pertama untuk tingkat desa dimulai pada bulan Januari.

Februari

 

 

  • Musrenbang tingkat kecamatan diselenggarakan bulan Februari.
  • Dilanjutkan forum musyawarah tingkat SKPD.

 

Maret

  • Musrenbang tingkat Kabupaten/Kota.

April – Mei

 

 

 

  • Semua aktivitas/program kerja yang berasal dari masing-masing SKPD dikoordinasikan dan dicantumkan dalam bentuk dokumen yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Juni – Agustus

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  • Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), yaitu   kebijakan umum tentang APBD yang disusun berdasarkan pada RKPD.
  • Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) bagi setiap satuan kerja.
  • Penyusunan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (RK-SKPD).
  • Setiap Unit Kerja mempersiapkan estimasi anggaran yang terkait dengan RK-SKPD dan menyampaikan kepada pemerintah daerah.

September

  • Kompilasi anggaran yang diajukan oleh setiap SKPD.

Oktober

 

 

 

  • Finalisasi Anggaran yang dipersiapkan oleh Panitia Anggaran Eksekutif dikoordinasdikan oleh Sekda.
  • Penyiapan rancangan Perda APBD untuk disetujui DPRD.
  • Pembahasan oleh Unsur Legislatif dan Eksekutif.

November

  • Pembahasan dan Pengesahan anggaran oleh DPRD.

Desember

 

  • Penyusunan Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.


B. Anggaran Berbasis Kinerja (ABK)

1. Penganggaran Berbasis Kinerja

Penganggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistimatis menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem penganggaran pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai tujuan termasuk guna pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas dari penggunaan dana dan pertanggungjawaban kepada publik.

Penganggaran Berbasis Kinerja (ABK) diantaranya menjadi jawaban untuk digunakan sebagai alat pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah. Penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja. Sedangkan bagaimana tujuan itu dicapai, dituangkan dalam program diikuti dengan pembiayaan pada setiap tingkat pencapaian tujuan.

Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. Aktivitas tersebut disusun sebagai cara untuk mencapai kinerja tahunan. Dengan kata lain, integrasi dari rencana kerja tahunan (Renja SKPD) yang merupakan rencana operasional dari Renstra dan anggaran tahunan merupakan komponen dari anggaran berbasis kinerja.

Elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam penganggaran berbasis kinerja adalah:
- Pengumpulan informasi yang sistimatis atas realisasi pencapaian kinerja dapat diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara biaya dengan prestasinya.

Kondisi yang harus disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi penggunaan anggaran berbasis kinerja, yaitu:
- Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.
- Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus.
- Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang, waktu dan orang).
- Penghargaan dan sanksi yang jelas.
- Keinginan yang kuat untuk berhasil.

2. Manfaat Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja

Paradigma baru dalam pengelolaan keuangan negara/daerah mencakup antara lain penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja. Dalam dokumen penyusunan anggaran berbasis kinerja yang disampaikan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta keterkaitan antara besaran anggaran dan manfaat yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu penerapan anggaran berbasis kinerja mengandung makna bahwa setiap penyelenggara pemerintahan (pusat/daerah) wajib bertanggungjawab atas hasil proses dan penggunaan semua sumber daya.

Selain itu Anggaran Berbasis Kinerja juga merupakan suatu metoda penganggaran yang mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam target kinerja dari setiap SKPD di lingkungan pemerintahan kabupaten/kota terkait. ABK yang efektif akan dapat mengidentifikasikan keterkaitan antara nilai uang dan hasil yang dicapai, serta dapat menjelaskan bagaimana keterkaitan tersebut dapat terjadi.


C. Standar Pelayanan Minimal (SPM)

1. Pengertian Standar Pelayanan Minimal

Undang-Undang 32 tahun 2004 pasal 11 (4), menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Di lain pihak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 tahun 2003 pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa Standar Pelayanan Minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan pencapaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah. Selain itu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) ditegaskan bahwa SPM berisi ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh masyarakat secara minimal.

Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) oleh pemerintah pusat adalah cara untuk menjamin dan mendukung pelaksanaan urusan wajib oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan sekaligus merupakan akuntabilitas daerah kepada pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disamping itu, SPM juga dapat dipakai sebagai alat pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Pengertian SPM dapat dijumpai pada beberapa sumber, antara lain:

  • Undang-Undang 32 Tahun 2004 penjelasan pasal 167 (3), menyatakan bahwa SPM adalah standar suatu pelayanan yang memenuhi persyaratan minimal kelayakan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pasal 20 (1) menyatakan bahwa APBD yang disusun dengan pendekatan kinerja memuat standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; Ayat (2) menyatakan bahwa untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah dikembangkan Standar Analisa Belanja (ASB), Tolok Ukur Kinerja dan Standar Biaya.
  • Lampiran Surat Edaran Dirjen OTDA Nomor 100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002 menyatakan Standar Pelayanan Minimal adalah tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Dari berbagai pengertian tersebut, secara umum dapat diikhtisarkan bahwa SPM merupakan standar minimal pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Adanya SPM akan menjamin minimal pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat dari pemerintah. Dengan adanya SPM maka akan terjamin kuantitas dan atau kualitas minimal dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga diharapkan akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah.

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa pelaksanaan urusan wajib merupakan pelayanan minimal sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa, SPM ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini departemen teknis, sedangkan pedoman penyusunan SPM ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 167 (3).

2. Manfaat Penerapan Standar Pelayanan Minimal

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005, tentang Penyusunan dan Penerapan SPM disebutkan bahwa SPM mempunyai beberapa manfaat, antara lain:
  • Memberikan jaminan bahwa masyarakat akan menerima suatu pelayanan publik dari pemerintah daerah sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan terjaminnya hak masyarakat untuk menerima suatu pelayanan dasar dari pemerintah daerah setempat dengan mutu tertentu;
  • Dengan ditetapkannya SPM akan dapat ditentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik, sehingga SPM dapat dijadikan dasar untuk penentuan kebutuhan pembiayaan daerah;
  • SPM dapat dipakai sebagai landasan dalam menentukan perimbangan keuangan dan/atau bantuan lain yang lebih adil dan transparan;
  • Menjadi dasar dalam menentukan anggaran berbasis kinerja. Dalam hal ini SPM dapat dijadikan dasar dalam menentukan alokasi anggaran daerah dengan tujuan yang lebih terukur. Disamping itu SPM dapat dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan akuntabilitas  Pemerintah Daerah terhadap masyarakat, sebaliknya masyarakat dapat mengukur sejauh mana pemerintah daerah memenuhi kewajibannya dalam menyediakan pelayanan publik;
  • Sebagai alat ukur bagi kepala daerah dalam melakukan penilaian kinerja yang telah dilaksanakan oleh unit kerja penyedia suatu pelayanan;
  • Sebagai benchmark untuk mengukur tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pelayanan publik;
  • Menjadi dasar bagi pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh institusi pengawasan;
  • SPM akan dapat memperjelas tugas pokok Pemerintah Daerah dan mendorong terwujudnya  check and balances  yang lebih efektif;
  • Mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah.

3. Prinsip-Prinsip Penerapan Standar Pelayanan Minimal

Beragamnya kondisi daerah, baik kondisi ekonomi, sosial, budaya, maupun kondisi geografis akan berdampak pada kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain setiap daerah mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mengimplementasikan SPM. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dalam penerapan SPM perlu dipahami.

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 menyebutkan bahwa prinsip-prinsip penerapan standar pelayanan minimal sebagai berikut:
  • SPM disusun sebagai alat pemerintah pusat dan pemerintahan daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib;
  • SPM ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan untuk Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (provinsi, kabupaten/kota);
  • Penerapan Standar Pelayanan Minimal oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional;
  • SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu pencapaian;
  • SPM harus dijadikan acuan dalam perencanaan daerah, penganggaran, pengawasan, pelaporan dan sebagai alat untuk menilai pencapaian kinerja;
  • SPM harus fleksibel dan mudah disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan kelembagaan serta personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.

D. Keterkaitan Antara Renstrada, ABK dan SPM

Pelaksanaan desentralisasi pemerintahan membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk menjalankan roda pemerintahannya dengan prinsip otonomi seluas-luasnya sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 10 (2), ”pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”. Urusan-urusan wajib yang menjadi tanggung jawab dan harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah juga telah ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut khususnya pasal 13 dan 14.

Pelaksanaan urusan wajib oleh pemerintah daerah harus memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya, untuk itulah pemerintah pusat sebagai fasilitator penyelenggaraan otonomi daerah, menetapkan suatu standar pelayanan yang harus dilaksanakan oleh setiap pemerintah daerah, agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat terjamin jumlah dan kualitas minimalnya dan tepat guna, yaitu SPM. Dengan adanya SPM akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan terhindar dari kesenjangan pelayanan antar daerah.

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, SPM ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, yang mengatur jenis-jenis pelayanan apa saja yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah termasuk target kinerja minimal yang harus dicapai.

Penetapan SPM ditujukan untuk merangsang tumbuhnya akuntabilitas pemerintah daerah. SPM ini digunakan sebagai dasar untuk melakukan penetapan program dan perencanaan kerja/kegiatan pelayanan publik yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah, terutama dalam kinerja anggarannya.

Dalam hal yang berkaitan dengan kinerja anggaran, pemerintahan daerah harus menyusun anggaran berdasarkan kinerja yang jelas dan terarah yang biasa disebut dengan ABK. Dalam penyusunan ABK, pemerintah daerah harus menyusunnya berdasarkan SPM yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kinerja yang dimaksud dalam SPM ini adalah target-target yang merupakan tolok ukur yang ditetapkan sebagai indikator keberhasilan suatu kegiatan. Indikator keberhasilan dan target-target (indicator output, outcome, benefit, impact) yang ada dalam SPM akan digunakan untuk menetapkan target-target kegiatan dan menghitung ASB serta menghitung rencana anggaran kegiatan.

Program dan rencana kegiatan, termasuk tolok ukur kinerjanya yang merupakan pelaksanaan dari urusan wajib, selanjutnya dituangkan dalam rencana kinerja instansi terkait. Dengan kata lain, program, kegiatan, indikator keberhasilan, target/tolok ukur kinerja, ASB dan rencana anggaran kegiatan yang tertuang dalam Renstra/Renja dalam rangka melaksanakan urusan wajib, ditetapkan berdasarkan SPM.

Skema berikut menggambarkan keterkaitan antara urusan wajib dan SPM dengan penyusunan anggaran berbasis kinerja (ABK):

urusan wajib dan SPM


Untuk menyusun urusan wajib dan urusan lainnya pemerintah daerah harus memperhatikan pelayanan publik (public services) sesuai keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1 dan Pasal 14 ayat 1 ada 16 (enam belas) urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan provinsi/kabupaten/kota,  yang terdiri dari:

  1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan.
  2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.
  3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteramaan masyarakat.
  4. Penyediaan sarana dan prasarana umum.
  5. Penanganan bidang kesehatan.
  6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.
  7. Penanggulangan masalah sosial.
  8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan.
  9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah.
  10. Pengendalian lingkungan hidup.
  11. Pelayanan pertahanan.
  12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil.
  13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan.
  14. Pelayanan administrasi penanaman modal.
  15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.
  16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada SPM dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah (Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 11 (4)). SPM yang telah ditetapkan oleh Pemerintah tersebut menjadi salah satu acuan bagi pemerintah daerah untuk menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM, Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (5) disebutkan bahwa Pemerintah Daerah menerapkan standar pelayanan minimal dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri.

Langkah berikutnya adalah Pemerintah Daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri. Rencana pencapaian SPM tersebut dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Strategi (Renstra) SKPD. Sedangkan target tahunan pencapaian SPM dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Renja SKPD, dan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) sesuai dengan klasifikasi belanja daerah dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah.

Rangkuman

Guna memasuki pembahasan penyusunan anggaran, Bab ini menguraikan tentang pengertian Anggaran Berbasis Kinerja (ABK), Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Keterkaitan antara Renstrada, ABK dan SPM. 

Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) digunakan sebagai alat untuk pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah. Penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran tersebut. ABK yang efektif akan dapat mengidentifikasikan keterkaitan antara nilai uang dan hasil yang dicapai, serta dapat menjelaskan bagaimana keterkaitan tersebut dapat terjadi. 

SPM (Standar Pelayanan Minimal) merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan pencapaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah. SPM berisi ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh masyarakat secara minimal. Penetapan SPM ditujukan untuk merangsang tumbuhnya akuntabilitas pemerintah daerah. 

Ringkasnya, program, kegiatan, indikator keberhasilan, target/tolok ukur kinerja, ASB dan rencana anggaran kegiatan yang tertuang dalam Renstra/Renja dalam rangka melaksanakan urusan wajib, ditetapkan berdasarkan SPM.

0 Response to "SISTEM ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH (MODUL KEUANGAN)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel