Materi Sistem Perpajakan Indonesia
DEFINISI PAJAK
Pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan—
dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa
berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan
jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Lembaga Pemerintah
yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
DefinisiSunting
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi
tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli di antaranya adalah:
LEROY
BEAULIEU
Pajak adalah bantuan, baik secara langsung
maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari
barang, untuk menutup belanja pemerintah.[1]
P. J.
A. ADRIANI
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara
(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali
yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.[2]
Prof.
Dr. H. Rochmat Soemitro SH
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi
sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas
Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.[3]
Ray M.
Sommerfeld, Herschel M. Anderson, dan Horace R. Brock
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari
sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa
mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.[4]
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai
beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini
memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah.
Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk
kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan
negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan
masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif
hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya
undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk
menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai
kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa
pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya
kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak
sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun
1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''
UNSUR
PAJAK
Dari berbagai
definisi yang diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara ekonomis (pajak
sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau
pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat
ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak,
antara lain sebagai berikut:
Pajak dipungut
berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945
pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
Tidak mendapatkan jasa timbal balik
(kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya,
orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama
kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan
pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik
rutin maupun pembangunan.
Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat
dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat
dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi
mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi
mengatur / regulatif).
JENIS PAJAK
Ditinjau dari segi
Lembaga Pemungut Pajak, pajak dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu:
Pajak
Negara
Sering disebut juga pajak pusat yaitu pajak
yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri atas:
Pajak
Penghasilan
Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 36 Tahun 2008
Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir
kali dengan UU No. 42 Tahun 2009
Bea Materai
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
Bea Masuk
UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17 Tahun 2006
tentang Kepabeanan
Cukai
UU No. 11 Tahun 1995 jo. UU No. 39 Tahun 2007
tentang Cukai
Pajak
Daerah
Sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis Pajak Daerah:
Pajak
Provinsi terdiri atas:
Pajak Kendaraan Bermotor;
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
Pajak Air Permukaan; dan
Pajak Rokok.
Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
Pajak Hotel;
Pajak Restoran;
Pajak Hiburan;
Pajak Reklame;
Pajak Penerangan Jalan;
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
Pajak Parkir;
Pajak Air Tanah;
Pajak Sarang Burung Walet;
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Undang-undang perpajakan negaraSunting
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
stdtd Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan
stdtd Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
stdtd Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang
Kepabeanan
stdd Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai
stdd Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007
FUNGSI PAJAK
Pajak mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam
pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk
membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal
di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
Fungsi
anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas
rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini
dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk
pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan
lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan
pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan
pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan
pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari
sektor pajak.
Fungsi
mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi
melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman
modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas
keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah
menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
Fungsi
stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana
untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga
inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan
mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien.
Fungsi
redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan
digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
SYARAT
PEMUNGUTAN PAJAK
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada
masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun
bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang
kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus
memenuhi persyaratan yaitu:
Pemungutan
pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun
mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil
dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
Contohnya:
Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib
pajak
Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara
yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak
Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan
secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran
Pengaturan
pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi:
"Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan
Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan
UU tentang pajak, yaitu:
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara
yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk
tidak diperlakukan secara umum
Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi
para wajib pajak
Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian
rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi,
perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan
masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama
masyarakat kecil dan menengah.
Pemungutan
pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih
rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem
pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian,
wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari
segi penghitungan maupun dari segi waktu.
Sistem
pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat
menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan
memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai
sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan
kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit,
orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
Bea materai disederhanakan dari 167 macam
tarif menjadi 2 macam tarif
Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi
hanya satu tarif, yaitu 10%
Pajak perseorangan untuk badan dan pajak
pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh)
yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi)
Asas pemungutanSunting
Asas pemungutan pajak menurut pendapat para
ahli
Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan
pajak, beberapa ahli yang mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, antara
lain:
ADAM
SMITH, pencetus “TEORI THE FOUR
MAXIMS”
1. MENURUT ADAM SMITH dalam bukunya Wealth
of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas
pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
Asas
Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas
keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak.
Asas
Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak
harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi
hukum.
Asas
Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang
tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat
bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru
menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
Asas
Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya
pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya
pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.[5]
2. MENURUT W.J. LANGEN, asas pemungutan
pajak adalah sebagai berikut:
Asas
daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus
berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan
maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
Asas
manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus
digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
Asas
kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Asas
kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak
yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama
(diperlakukan sama).
Asas
beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan
sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek
pajak sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
3. MENURUT
ADOLF WAGNER, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
Asas
politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya
memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
Asas
ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya:
pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
Asas
keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa
diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
Asas
administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan
(kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara
membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
Asas
yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan
Undang-Undang.
Asas
Pengenaan Pajak
Agar negara dapat
mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang
bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja
harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia,
secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk
dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau
dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh
negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak,
khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan
oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
Asas
domisili atau disebut juga asas kependudukan
(domicile/residence principle): berdasarkan asas ini negara akan mengenakan
pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan
penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang
bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan
dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya
bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap
penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep
pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun
penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
Asas
sumber: Negara yang menganut asas sumber akan
mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu
diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari
sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan
mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan
tersebut sebab yang menjadi landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang
timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di
Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak
oleh pemerintah Indonesia.
Asas
kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan
(nationality/citizenship principle):
Dalam asas ini,
yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang
atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi
persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti
halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas
nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan
konsep pengenaan pajak atas world wide income.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara
asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu
pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang
disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk
mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah
yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas
domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di
sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting.
Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status
objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara
itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima
penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama,
pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja
(world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat
dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari
sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi
salah satu asas saja, tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan
asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas
sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus.
Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang
dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai
subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas
domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga
menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang
mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.
Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan
penduduk (resident individual) menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan
asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas
keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun
di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang,
dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan
atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang.
Australia, untuk semua badan usaha milik
negara maupun swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas
seluruh penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara
itu, untuk badan usaha luar negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari
sumber yang ada di Australia.
TEORI PEMUNGUTAN
Menurut
R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar
Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak,
yaitu:
Teori
asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas
untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya
maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya
seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi.
Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini
banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan
asuransi.
Teori
kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak
adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan
dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan
perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini
banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan
perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan
jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang miskin justru dibebaskan
dari beban pajak.
PENERIMAAN
PAJAK DI INDONESIA
Penerimaan pajak tahun 2012 adalah 835,25
Triliun, dibandingkan dengan realisasi Tahun 2011 maka realisasi penerimaan
perpajakan tahun 2012 naik sebesar 92,53 Trilyun atau mengalami pertumbuhan
sebesar 12, 47 %. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2012 sebesar 10,87%. Realisasi penerimaan
pajak 2012 per jenis pajak :
Pajak Penghasilan (PPh) Rp464,66 triliun
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp336,05 triliun
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp28,96 triliun
Rencana penerimaan pajak Tahun 2013 adalah
sebesar Rp1.042,32 triliun atau tumbuh 24,79% dibandingkan dengan realisasi
penerimaan tahun 2012. Penerimaan tersebut memberikan kontribusi sebesar 68,14%
dari rencana anggaran Pendapatan Negara Tahun 2013 sebesarRp1.529,67 triliun.
Pendapatan pajak itu belum termasuk pendapatan
cukai, bea masuk, dan pendapatan pungutan ekspor.
PAJAK
Berdasarkan wujudnya, pajak dibedakan menjadi:
·
Pajak langsung adalah pajak yang dibebankan
secara langsung kepada wajib pajak seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan.
·
Pajak tidak langsung adalah pajak/pungutan
wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yang secara
tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya.
Berdasarkan jumlah yang harus dibayarkan, pajak dibedakan menjadi:
·
Pajak pendapatan adalah pajak yang dikenakan
atas pendapatan tahunan dan laba dari usaha seseorang, perseroan terbatas/unit
lain.
·
Pajak penjualan adalah pajak yang dibayarkan
pada waktu terjadinya penjualan barang/jasa yang dikenakan kepada pembeli.
·
Pajak badan usaha adalah pajak yang dikenakan
kepada badan usaha seperti perusahaan bank dan sebagainya.
Laba usaha yang diterima oleh badan usaha
maupun perorangan itulah yang akan dikenai PPh. Namun demikian, bagi Wajib
Pajak perorangan, sebelum laba dikenakan pajak terlebih dahulu dikurangkan
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya ditetapkan dan
bergantung pada jumlah tanggungan keluarganya. Sebenarnya, pihak yang memiliki
sebuah usaha berbentuk badan adalah juga perorangan sebagai investor. Hasil
yang akan diterima oleh investor sebagai pemilik usaha merupakan penghasilan
kembali yang merupakan Objek PPh bagi perorangan. Namun karena prinsip usaha
adalah “going concern” maka keuntungan dari sebuah badan usaha tidak selalu
langsung dinikmati oleh investor (pemilik) tetapi dapat ditanamkan kembali
untuk memperbesar usaha. Sehingga penghasilan yang diterima oleh perorangan
atas investasinya di badan usaha bisa ditunda sampai keuntungan tersebut
dibagikan ke perorangan.
Pajak berdasarkan pungutannya dapat dibedakan menjadi:
·
Pajak bumi dan bangunan (PBB)
adalah pajak/pungutan yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat terhadap tanah dan
bangunan kemudian didistrubusiakan kepada daerah otonom sebagai pendapatan
daerah sendiri.
·
Pajak perseroan adalah pungutan
wajib atas laba perseroan/badan usaha lain yang modalnya/bagiannya terbagi atas
saham–saham.
·
Pajak siluman adalah pungutan
secara tidak resmi/pajak gelap dan merupakan sumber korupsi.
·
Pajak transit adalah pajak yang
dipungut di tempat tertentu yang harus dilalui oleh pengangkutan orang/barang
dari suatu tempat ke tempat lain.
Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3
(tiga) :
Official Assessment System ;
sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah (petugas
pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak. Sistem pemungutan
pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada tahun
1984. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung
oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat pasif, dan (iii) hutang pajak
timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Self Assessment System ; sistem
pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung
sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri pajak yang terhutang yang
seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak
terhutang dihitung sendiri oleh wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif
dengan melaporkan dan membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya dibayar,
dan (iii) pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat
kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat melaporkan
atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang seharusnya dibayar
tetapi tidak dibayar.
Withholding System ; sistem
pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak lain atau pihak ketiga
untuk memotong dan memungut besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak.
Pihak ketiga disini adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak.
SISTEM
PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA
Ada beberapa fungsi pajak yaitu:
·
Fungsi pajak yang pertama adalah
sebagai fungsi anggaran atau penerimaan
(budgetair): pajak merupakan salah satu sumber dana yang digunakan
pemerintah dan bermanfaat untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran. Penerimaan
negara dari sektor perpajakan dimasukkan ke dalam komponen penerimaan dalam negeri
pada APBN.
·
Fungsi pajak yang kedua adalah
sebagai fungsi mengatur
(regulerend) : pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contohnya adalah
pengenaan pajak yang lebih tinggi kepada barang mewah dan minuman keras.
·
Fungsi pajak yang ketiga adalah
sebagai fungsi stabilitas : pajak
sebagai penerimaan negara dapat digunakan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan
pemerintah. Contohnya adalah kebijakan stabilitas harga dengan tujuan untuk
menekan inflasi dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat lewat
pemungutan dan penggunaan pajak yang lebih efisien dan efektif.
·
Fungsi pajak yang keempat adalah fungsi redistribusi pendapatan :
penerimaan negara dari pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan
pembangunan nasional sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
0 Response to "Materi Sistem Perpajakan Indonesia"
Post a Comment